Semakin sering latihan, semakin piawai. Begitu pula dengan berbohong.
Makin sering Anda berlatih berbohong, Anda akan makin ahli. Demikian
menurut penelitian baru-baru ini.
Penelitian dalam jurnal
“Frontiers in Cognitive Science” pada 12 November menemukan, setelah 20
menit berlatih membuat cerita rekaan mereka, para pembohong mampu
merespon kebohongan terhadap kebenaran dengan cepat dan mudah.
“Setelah
melakukan pelatihan dalam waktu singkat, orang-orang dapat berbohong
dengan sangat baik,” kata Xioaqing Hu, penulis penelitian dan kandidat
doktor bidang psikologi di Northwestern University. “Perbedaan antara
berbohong dan menjadi jujur telah dihilangkan setelah menjalani
pelatihan.”
Meski orang-orang berbohong untuk banyak alasan,
berbohong adalah pekerjaan yang tidak mudah. Berbohong membutuhkan
banyak kekuatan otak karena hal tersebut membutuhkan informasi yang
bertolak belakang di dalam pemikiran (kebenaran dan kebohongan), yang
terus menghalangi kita untuk mengatakan kebenaran.
Anak-anak
adalah pembohong yang buruk dan kemampuan berbohong mereka tersebut
berkembang seiring kedewasaan. Dan sejumlah penelitian menemukan bahwa
orang-orang lebih sering berbohong dibandingkan berkata jujur.
“Berbohong itu sulit, karena kejujuran adalah mode komunikasi standar,” kata Hu kepada LiveScience.
Namun
penelitian sebelumnya kebanyakan melakukan pengujian terhadap kemampuan
orang-orang untuk melakukan penipuan tanpa berlatih terlebih dahulu.
Dalam kehidupan nyata, para pelaku tindak kejahatan biasanya berlatih
dan menyempurnakan alibi mereka sebelum menghadapi interogasi dengan
polisi.
Hu dan rekannya ingin mengetahui bagaimana berbohong
dapat berubah dengan berlatih. Mereka meminta 16 orang untuk melakukan
permainan spionase mendasar dengan mengingat tiga fakta untuk sebuah
identitas palsu, yaitu nama, tanggal lahir serta tempat asal mereka yang
baru.
Para peneliti kemudian meminta para sukarelawan untuk
menjawab sebuah pertanyaan (“Apakah ini identitas Anda yang baru?”)
untuk fakta yang berbeda mengenai kebenaran diri mereka, dan menekan
tombol “ya” atau “tidak” sebagai tanggapan, sementara para penelitinya
mengukur kecepatan waktu serta akurasinya.
Setelah 270 kali
percobaan, atau sekitar 20 menit latihan, para pembohong tersebut tidak
bisa dibedakan dengan orang yang berkata jujur berdasarkan akurasi serta
kecepatan waktu dalam merespon pertanyaan.
“Kami berpikir bahwa,
secara psikologi, orang-orang pada dasarnya belajar bahwa ini bukanlah
aku dan identitas palsu tersebut adalah aku,” kata Hu.
Tim
peneliti tersebut kini tengah mempelajari apakah alat pengukur
kebohongan yang lain, seperti mesin poligraf atau pengukuran gelombang
otak EEG dapat menguak penipuan yang terlatih, ataukah kebohongan
benar-benar tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode yang
digunakan saat ini, seperti yang dikatakan Hu.
“Namun dalam dunia
nyata, setelah tindak kejahatan, biasanya ada jeda antara waktu
terjadinya tindak kejahatan tersebut dengan proses interogasinya,” yang
memberikan kesempatan bagi para pelaku tindak kejahatan untuk melatih
kebohongan mereka, ungkap Hu.
Tim milik Hu kini tengah
mempelajari apakah orang-orang dapat meningkatkan kebohongan mereka saat
ditanya dengan menyediakan ingatan kejadian yang palsu, contohnya saat
membuat alibi setelah melakukan pencurian.
Oleh Tia Ghose, staf penulis LiveScience
Sumber
No comments:
Post a Comment