Thursday, December 13, 2012

Perlukah Latihan Berbohong Untuk Menjadi Pembohong Piawai?

Semakin sering latihan, semakin piawai. Begitu pula dengan berbohong. Makin sering Anda berlatih berbohong, Anda akan makin ahli. Demikian menurut penelitian baru-baru ini.

Penelitian dalam jurnal “Frontiers in Cognitive Science” pada 12 November menemukan, setelah 20 menit berlatih membuat cerita rekaan mereka, para pembohong mampu merespon kebohongan terhadap kebenaran dengan cepat dan mudah.

“Setelah melakukan pelatihan dalam waktu singkat, orang-orang dapat berbohong dengan sangat baik,” kata Xioaqing Hu, penulis penelitian dan kandidat doktor bidang psikologi di Northwestern University. “Perbedaan antara berbohong dan menjadi jujur telah dihilangkan setelah menjalani pelatihan.”

Meski orang-orang berbohong untuk banyak alasan, berbohong adalah pekerjaan yang tidak mudah. Berbohong membutuhkan banyak kekuatan otak karena hal tersebut membutuhkan informasi yang bertolak belakang di dalam pemikiran (kebenaran dan kebohongan), yang terus menghalangi kita untuk mengatakan kebenaran.

Anak-anak adalah pembohong yang buruk dan kemampuan berbohong mereka tersebut berkembang seiring kedewasaan. Dan sejumlah penelitian menemukan bahwa orang-orang lebih sering berbohong dibandingkan berkata jujur.

“Berbohong itu sulit, karena kejujuran adalah mode komunikasi standar,” kata Hu kepada LiveScience.

Namun penelitian sebelumnya kebanyakan melakukan pengujian terhadap kemampuan orang-orang untuk melakukan penipuan tanpa berlatih terlebih dahulu. Dalam kehidupan nyata, para pelaku tindak kejahatan biasanya berlatih dan menyempurnakan alibi mereka sebelum menghadapi interogasi dengan polisi.

Hu dan rekannya ingin mengetahui bagaimana berbohong dapat berubah dengan berlatih. Mereka meminta 16 orang untuk melakukan permainan spionase mendasar dengan mengingat tiga fakta untuk sebuah identitas palsu, yaitu nama, tanggal lahir serta tempat asal mereka yang baru.

Para peneliti kemudian meminta para sukarelawan untuk menjawab sebuah pertanyaan (“Apakah ini identitas Anda yang baru?”) untuk fakta yang berbeda mengenai kebenaran diri mereka, dan menekan tombol “ya” atau “tidak” sebagai tanggapan, sementara para penelitinya mengukur kecepatan waktu serta akurasinya.

Setelah 270 kali percobaan, atau sekitar 20 menit latihan, para pembohong tersebut tidak bisa dibedakan dengan orang yang berkata jujur berdasarkan akurasi serta kecepatan waktu dalam merespon pertanyaan.

“Kami berpikir bahwa, secara psikologi, orang-orang pada dasarnya belajar bahwa ini bukanlah aku dan identitas palsu tersebut adalah aku,” kata Hu.

Tim peneliti tersebut kini tengah mempelajari apakah alat pengukur kebohongan yang lain, seperti mesin poligraf atau pengukuran gelombang otak EEG dapat menguak penipuan yang terlatih, ataukah kebohongan benar-benar tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode yang digunakan saat ini, seperti yang dikatakan Hu.

“Namun dalam dunia nyata, setelah tindak kejahatan, biasanya ada jeda antara waktu terjadinya tindak kejahatan tersebut dengan proses interogasinya,” yang memberikan kesempatan bagi para pelaku tindak kejahatan untuk melatih kebohongan mereka, ungkap Hu.

Tim milik Hu kini tengah mempelajari apakah orang-orang dapat meningkatkan kebohongan mereka saat ditanya dengan menyediakan ingatan kejadian yang palsu, contohnya saat membuat alibi setelah melakukan pencurian.

 Oleh Tia Ghose, staf penulis LiveScience

Sumber

No comments:

Post a Comment